Hadits Ke-4: Fase Penciptaan Manusia & Ketetapan Takdir - Permasa

Hot

Wednesday, August 28, 2019

Hadits Ke-4: Fase Penciptaan Manusia & Ketetapan Takdir

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ  أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا)    رواه البخاري ومسلم(

Dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) 40 hari, kemudian berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah) selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhghah) selama 40 hari. Kemudian diutus kepadanya malaikat lalu ditiupkan kepadanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan derita atau bahagianya. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.”  (H.R. Bukhari dan Muslim)

Tokoh: Abdullah bin Mas’ud[1]
Abdullah bin Mas’ud mulanya adalah seorang budak. Ayahnya bernama Mas’ud bin Ghafil. Ibunya bernama Ummu Abdi binti Abdi Wudd. Ia masuk Islam bersamaan dengan Said bin Zaid, suami Fatimah binti al-Khattab, adik kandung Umar bin Khattab. Ia memiliki nama kun-yah[2] Abu Abdirrahman, yang berarti bapaknya Abdurrahman.
Abdullah bin Mas’ud atau Ibnu Mas’ud menjadi saksi terjadinya mukjizat Nabi berupa air susu kambing. Ceritanya, saat Ibnu Mas’ud menggembalakan kambing millik majikannya, datanglah Rasulullah dan Abu Bakar. Karena kehausan, beliau bertanya kepada Ibnu adakah kambing yang bisa diperah air susunya. Ibnu Mas’ud menjawab, “Ada. Tetapi, kambing-kambing bukan milik saya. Jadi, saya tidak bisa memberikannya.” Lalu, Rasulullah berkata, “Kalau begitu, bawakan kepadaku seekor domba yang belum dewasa.” Diambilkanlah seekor anak domba yang kurus kering. Rasulullah mengusap putting susu kambing tersebut, tiba-tiba keajaiban terjadi. Keluarlah air susu yang meruah dari anak kambing tersebut. Usai Rasulullah dan Abu Bakar meminum air susunya, beliau usap kembali puting kambing itu dan kembali menyusut. Ibnu Mas’ud meyakini bahwa lelaki di hadapannya itu pastilah seorang nabi. Ia lalu memeluk Islam.
Setelah memeluk Islam, Ibnu Mas’ud menjadi pelayan Nabi. Dialah yang menyiapkan alat perang dan siwak Rasulullah. Karenanya, dia disebut shahibus siwad was siwak (penyedia alat perang dan siwak). Ia termasuk assabiqunal awwalun (generasi awal yang memeluk Islam).
Ibnu Mas’ud berbadan kecil. Suatu ketika ia ditertawakan oleh beberapa sahabat karena kakinya yang pendek. Rasulullah menegur mereka, seraya bersabda, “Kaki Abdullah lebih berat timbangannya kelak di akhirat daripada Gunung Uhud.”
Ibnu Mas’ud adalah orang pertama yang membacakan al-Qur’an secara terang-terangan di tengah kafir Quraisy (setelah Nabi). Dengan berani ia membaca beberapa ayat dari surat ar-Rahman di dekat Ka’bah. Atas aksinya itu ia dipukuli oleh orang-orang kafir Mekah.
Pada tahun 32 H Ibnu Mas’ud wafat dan dimakamkan di Baqi, Madinah. Ia wafat dalam usia 67 tahun.

Kandungan Hadits
Pertama, Fase Penciptaan Manusia dalam Kandungan.
Fase penciptaan manusia di dalam perut ibu adalah:
1.     40 hari berupa setetes air mani (nuthfah).
2.    40 hari menjadi segumpal darah ('alaqah).
3.    40 hari menjadi segumpal daging (mudhghah).
4.    Setelah 120 hari, ditiupkanlah ruh ke dalam janin tersebut.
Hadits di atas kompatibel dengan QS. Al-Mu’minun [23]:12-14, bahkan paparan dalam surat al-Mu’minun tersebut lebih rinci lagi.
‘Alaqah, yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan segumpal darah, sebenarnya tidaklah benar-benar segumpal darah, tetapi mirip dengan segumpal darah. Karena darah dalam kantung embrio belum mengalami sirkusi maka ia seperti darah yang menggumpal.
Kata ‘alaqah sendiri dalam bahasa arab memiliki 3 makna:
1. Lintah.

2. Sesuatu yang tergantung.

3. Segumpal darah.

Ketiga makna tersebut bersesuaian dan memiliki kemiripan dengan keaadaan embrio pada fase 'alaqah.

Sementara kata mudhghah dalam bahasa arab berarti ”sesuatu yang dikunyah”. Dan ternyata bentuk dan ukurannya memang mirip dengan sesuatu semisal permen karet yang biasa dikunyah manusia.

Melalui tahapan penciptaan manusia, sejatinya Allah mengajarkan kepada kita pentingnya tadarruj (proses). Padahal Allah berkuasa untuk menjadikan apa pun tanpa proses. Kun Fayakun!


Kedua, Takdir Manusia
Rezeki, ajal, amal, dan derita atau bahagia manusia telah ditentukan/ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Inilah yang disebut dengan takdir. Istilah lain yang digunakan untuk menyebut takdir adalah Qadha’ dan Qadar. Para ulama berbeda pendapat tentang kedua istilah tersebut. Di antaranya menyebutkan bahwa Qadha’ ialah ketetapan Allah sejak zaman azali (immemorial time), sedangkan qadar ialah perwujudan dari ketetapan Allah yang saat ini terjadi.
Persoalan takdir memang rumit, karena keberadaannya yang bersifat gaib sehingga tidak mudah dipahami oleh nalar manusia (suprarasional). Apalagi jika dikaitkan dengan ikhtiar (usaha) manusia, keduanya terkesan saling berseberangan; takdir merupakan otoritas Allah, sedangkan ikhtiar merupakan kehendak bebar manusia. Karena itulah kemudian muncul perdebatan dan melahirkan tiga golongan: Jabariyah[3], Qadariyah[4], dan Asy’ariah[5].
Secara kodrati, manusia diciptakan sebagai makhluk musayyar (tidak bisa memilih), seperti lahir dengan jenis kelamin tertentu. Hal ini berkaitan erat dengan takdir mubram. Selain itu, manusia juga diciptakan sebagai makhluk mukhayyar (diberi kehendak untuk memilih), seperti memilih beriman atau kufur, memilih beribadah atau bermaksiat. Hal ini berkaitan erat dengan takdir mu’allaq.
Berbicara takdir seharusnya menjadikan kita semakin semangat beramal. Bukan sebaliknya, menjadi manusia fatalis-pasif atau pesimistis. Dengan menjiwai konsep takdir, diharapkan manusia tidak jumawa saat Berjaya dan tidak putus asa saat jatuh menderita. Al-insan bi at-takhyir wa Allah bi at-takdir, tugas manusia adalah berikhtiar dan Allah-lah yang menakdirkan.

Belajar dari Kisah
Suatu ketika seorang Arab Badui mengendarai kuda untuk bertemu Rasulullah. Turun dari kudanya, si Badui langsung menghadap Rasulullah tanpa mengikat kudanya. Rasulullah menegur orang tesebut, “Kenapa kuda itu tidak kauikat?” Si Badui menjawab, “Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah.” Rasulullah bersabda, “Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah.”
Kisah lain bisa kita jadikan referensi untuk memahami takdir. Suatu saat Umar bin Khattab beserta rombongan hendak pergi ke suatu desa. Terdengar kabar bahwa di desa tersebut telah mewabah suatu penyakit menular. Akhirnya, Umar bin Khattab tidak melanjutkan perjalanannya. Ia memindahkan perjalanan ke tempat lain yang tidak terdapat wabah penyakit. Keputusan ini diprotes oleh sebagian sahabat. “Hai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari takdir Allah?” Umar menjawab, “Saya lari dari satu takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Mengenai poin terakhir dari hadits di atas, bisa kita klasifikasikan adanya empat jenis manusia.
  1. Manusia yang berbuat baik terus-menerus sampai akhir hayatnya, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib.
  2. Manusia yang berbuat baik, tetapi di akhir hidupnya justru berlumur kekufuran, seperti Quzman bin al-Harits[6].
  3. Manusia yang berbuat buruk terus-menerus sampai akhir hayatnya, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.
  4. Manusia yang berbuat buruk, tetapi di akhir hidupnya ia berbuat baik dan beriman, seperti Umar bin Khattab, Wahsyi, dan Ushairim (Amr bin Tsabit bin Wuqaisy[7]).




[1] Muhammad Raji Hasan Kinas, Nafahat ‘Athirah fi Sirah Shahabat Rasulillah, alih bahasa Nurhasan Humaedi, dkk., “Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi; Kisah Hidup 154 Wisudawan Madrasah Rasulullah Saw, (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 75-82.
[2] Nama kun-yah ialah nama yang diawali dengan kata Abu atau Ummu. Dalam Hasyiyah al-Khudhari, disebutkan bahwa nama kun-yah bisa juga diawali dengan Ibnu, Bintu, Akhu, Ukhtu, ‘Ammu, ‘Ammatu, Khalu, atau Khalatu. Contoh: Abu Abdillah dan Ummul Khair. Lihat Syaikh Muhammad al-Khudhari, Hasyiyah al-Khudhari ‘ala Ibni ‘Aqil, Juz 1, (Surabaya: al-Hidayah, tth), hlm. 62.
[3] Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa atau mengharuskannya melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination. Dalam aliran ini, manusia dipandang tidak memiliki daya ikhtiar sama sekali. Aliran ini sejalan dengan aliran nativisme dan aliran naturalism atau negativism yang dikemukakan J.J Rosseau (Perancis, 1712 – 1778 M), yang menyerahkan sepenuhnya proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan anak pada faktor bawaan tanpa memperhatikan adanya pengaruh faktor lingkungan.
[4] Qadariyah berasal dari kata qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan. Dalam bahasa Inggris qadariyah diartikan sebagai free will and free act, bahwa manusialah yang mewujudkan segala perbuatannya dengan kemauan dan tenaganya sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan.
[5] Asy'ariyah adalah mazhab teologi yang disandarkan kepada Imam Abul Hasan al-Asy'ari (w.324 H/936 M). perihal takdir, mazhab ini menengah-nengahi dua paham sebelumnya walaupun dapat dinilai lebih mendekati paham Jabariyah. Bedanya, dalam Asy’ariyah terdapat istilah al-kasb (acquisition, perolehan), yang berarti perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot