عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.
(رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ، وَقاَلَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.)
Dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya --radhiyallahu ‘anhuma--, ia berkata, “Aku telah menghafal (suatu hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu.’” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan shahih)
Hasan bin Ali
Hasan lahir pada tanggal 15 Ramadan tahun 3 H di Madinah. Semula Ali bin Abi Thalib telah menyiapkan nama “al-Harb", yang berarti “perang”, bagi putranya itu. Akan tetapi, Rasulullah tidak setuju. Beliau kemudian memberi nama “al-Hasan”, yang berarti baik, untuk cucunya itu.
Dalam bahasa Arab, kata “cucu” disebut dengan sibth (سِبْطِ) dan hafiid (حَفِيْد). Sibth untuk menyebut cucu dari jalur anak perempuan. Sementara hafiid untuk menyebut cucu dari anak laki-laki.
Hasan dibaiat menjadi khalifah menggantikan ayahnya. Karena itulah Hasan disebut sebagai Khalifah kelima. Namun, setelah menyaksikan pergolakan politik antara pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan dan pengikut Ali bin Thalib, Hasan memilih mendamaikan keduanya. Ia kedepankan perdamaian dengan cara mengalah dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah.
Peristiwa ini sesuai yang disabdakan oleh Rasulullah, saat Hasan masih belia. Beliau bersabda, “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (tuan, pemimpin, penghulu), kelak Allah SWT akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin dengan perantara dirinya. Semoga Allah memperbaiki lewatnya dua kelompok besar yang bertikai.” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Keteladanan Sayidina Hasan bin Ali dengan mengorbankan kekuasaan demi maslahah umat, menginspirasi kita bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Di atas semuanya, ada kemanusiaan dan keselamatan umat.
Hasan bin Ali mengembuskan nafas terakhirnya pada 5 Rabi’ul Awal tahun 50 H di Madinah pada usia 47 tahun. Hasan meninggal karena diracun. Konon, orang yang meracunnya adalah Ja’dah binti Asy’ats bin Qais al-Kindi, istri Hasan.
Tinggalkan Syubhat
Hadits ini semakna dengan hadits ke-6 dalam al-Arbain An-Nawawi yang berisi tentang sikap seorang mukmin terhadap perkara syubhat. Dalam hadits ke-6 disebutkan siapa yang menghindari perkara syubhat maka agama dan kehormatannya akan terjaga. Baik hadits ke-6 maupun ke-11, keduanya menekankan pentingnya seorang muslim memiliki sikap wara'.
Wara’ artinya adalah meninggalkan perkara yang haram dan syubhat (yang masih samar). Sementara menurut Ibrahim bin Adham, wara’ berarti meninggalkan perkara syubhat, termasuk pula meninggalkan perkara mubah yang berlebihan dan tidak bermanfaat.
Ragu vs Yakin
Hadits ke-11 ini mengisyaratkan agar kita menetapkan berbagai hukum dalam kehidupan atas dasar keyakinan, bukan keragu-raguan. Karean itulah jika terjadi ada keraguan berbenturan dengan keyakinan maka pilihlah keyakinan.
Dari sini kemudian muncul kaidah fiqih, “al-yaqiin laa yuzalu bisy-syakk” (keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan). Misalnya, seseorang telah berwudhu, beberapa saat kemudian dia ragu apakah wudhunya telah batal atau belum. Berpijak pada kaidah di atas maka wudhunya dihukumi belum batal.
Misal lainnya, seseorang hendak melaksanakan shalat, namun ia ragu apakah sudah berwudhu atau belum. Mengacu pada kaidah tadi maka dia dihukumi belum berwudhu.[]
No comments:
Post a Comment