Kiai Ali dan Pelacur Seksi - Permasa

Hot

Tuesday, September 3, 2019

Kiai Ali dan Pelacur Seksi



Kisah ini telah masyhur lama sekali di kalangan para santri. Kisah tentang Kiai Ali Yahya Lasem bersama seorang pelacur seksi. Banyak situs dan media sosial yang telah memviralkan kisah ini. Namun, tidak ada buruknya kami mengangkatnya kembali di sini. Setidaknya untuk mengingatkan kita bahwa berdakwah dengan cara yang bijak itu lebih bisa menyentuh hati.
KH Ali Yahya Lasem, beliau adalah seorang kiai tampan dengan badan tegap dan atletis. Apabila tidak bersorban dan berkopiah, beliau mirip bule yang sedang melancong ke Indonesia. Bisa membuat para wanita jatuh hati karena terpesona.
Suatu hari beliau mendapat amanah mengisi pengajian di Bumi Kartini, Jepara. Dengan diantar seorang sopir, Kiai Ali meluncur menuju lokasi pengajian. Traffic light menyala merah, mobil yang beliau tumpangi pun berhenti. Di dalam mobil, kiai Ali tidak mengenakan sorban dan kopiah sehingga terlihat tampan kebuleannya. Seorang wanita muda nan seksi tiba-tiba menghampiri sang Kiai. Dia mengira Kiai Ali adalah turis tajir yang membutuhkan teman kencan.
 “Malam, Om,” wanita itu menyapa manja.
“Malam,” jawab Kiai Ali.
“Boleh ikut, Om?”
“Boleh, boleh, silakan masuk.”
Dengan lincah wanita muda itu membuka pintu belakang, lalu duduk di belakang Kiai. Traffic light menyala hijau, mobil pun melaju lagi.
Tanpa basa-basa dot kom, si Wanita langsung merayu Kiai Ali.
“Mau ke mana, om? Aku temenin sampai pagi, ya?”
“Ini, saya mau ngaji ke Jepara. Ndak apa-apa, silakan sampeyan ikut saja,” Kiai Ali  menjawab tenang sambil mengenakan kembali sorban dan kopiahnya.
Sontak si Wanita terkesiap. Mukanya memerah. Tingkahnya pun jadi serba salah. Tersadarlah dia, ternyata mangsa yang dia pilih salah.
“Oh, jadi, Bapak ini kiai, ya?”
Kiai Ali hanya melempar senyum dan mengangguk pelan.
“Aduh, maaf, Kiai, saya benar-benar tidak tahu.”
Si Wanita belingsatan, pucat ketakutan, seperti cacing kepanasan.
Kiai Ali tidak murka atau emosi. Beliau justru menanggapinya dengan ramah.
“Tidak apa-apa, Mbak. Sekali-kali sampeyan ikut pengajian kan tidak apa-apa. Malahan bagus.”
“Tidak usah, Kiai,” si Wanita buru-buru menolak. “Saya turun di sini saja.”
Kiai Ali tetap bersikukuh. “Pokoknya sampeyan harus ikut. Tadi sampeyan bilang mau ikut, ya harus ikut.”
Si Wanita mulai kehabisan pasal. Dia pasrah saja, seperti buronan yang dicokok polisi.
“Tapi saya kan tidak pakai jilbab dan pakaian yang pantas, Kiai. ”
“Gampang, nanti aku pinjamkan ke jamaah.”
“Tapi saya malu, Kiai.”
“Sampeyan ini lucu. Jadi pelacur tidak malu, ke pengajian kok malah malu. Piye tho?”
“Saya takut, Kiai.”
“Bilangnya tadi malu, sekarang takut. Mana yang benar? Hehehe.”
Kiai Ali terkekeh kecil sambil geleng kepala.
“Sudahlah, santai saja. Yang penting ikut.”
Mobil yang membawa Kiai Ali akhirnya sampai di lokasi. Jamaah telah penuh sesak hingga membeludak. Kiai Ali bergegas turun dan menghampiri jamaah ibu-ibu.
“Maaf, Bu, bisa pinjam jilbabnya. Ini lho, Bu Nyai lupa membawa jilbab.”
Ibu-ibu tentu heran, bisa-bisanya Bu Nyai kok lupa berjilbab. Namun, mereka tidak berani menyampaikan itu. Seorang ibu cepat-cepat masuk ke dalam sebuah rumah. Tak lama kemudian dia kembali dengan membawa jilbab panjang yang indah. Kiai Ali memberikan jilbab itu kepada si wanita, yang masih duduk di dalam mobil.
Setelah rapi si wanita turun dari mobil. Ibu-ibu berebut mencium tangan si wanita. Ia pun dijamu dan dilayani sebagaimana Bu Nyai. Ada haru bercampur malu di hati pelacur itu.
Usai pengajian, jamaah ibu-ibu kembali berebut mendekati “Bu Nyai” alias si pelacur itu. Meminta “Bu Nyai” berdoa untuk mereka. Tentu “Bu Nyai” kaget karena sudah lama dia tidak merapalkan doa-doa. Untung ada sedikit doa pendek yang masih dia ingat lamat-lamat. Entah doa sebelum makan, sebelum tidur, atau …. entahlah. Dia baca saja doa pendekt itu.
“Huffffttt, lega!” Batinnya usai membaca doa.
Sebelum pulang, jamaah ibu-ibu bergantian mencium tangan “Bu Nyai” dan mengantarnya ke mobil. Mobil pun melaju kea rah timur menuju Lasem. Di situlah air mata “Bu Nyai” tumpah. Dia menangisi dirinya. Kiai Ali membiarkannya menumpahkan air mata. Setelah itu menasihati, “Apa yang sampeyan pikirkan dan rasakan ketika orang-orang tadi menghormatimu, mengerumunimu, dan memuliakanmu? Bahkan, mereka rela antre untuk mencium tanganmu?”
Air mata pelacur itu kembali tumpah, menangisi dosa-dosanya yang telah lalu.
“Hari ini sampeyan mendapat nasihat paling berharga. Maka, segeralah bertobat, mohon ampun kepada Allah. Mumpung ajal belum tiba.”
“Terima kasih atas nasihatnya, Kiai,” suara wanita itu beriring isak. “Hari ini saya bertobat. Sekali lagi, terima kasih.”
Begitulah sang pelacur seksi, ia telah tersesat di jalan yang benar! []


No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot