Kisah
ini telah masyhur lama sekali di kalangan para santri. Kisah tentang Kiai Ali
Yahya Lasem bersama seorang pelacur seksi. Banyak situs dan media sosial yang telah
memviralkan kisah ini. Namun, tidak ada buruknya kami mengangkatnya kembali di
sini. Setidaknya untuk mengingatkan kita bahwa berdakwah dengan cara yang bijak
itu lebih bisa menyentuh hati.
KH
Ali Yahya Lasem, beliau adalah seorang kiai tampan dengan badan tegap dan
atletis. Apabila tidak bersorban dan berkopiah, beliau mirip bule yang sedang
melancong ke Indonesia. Bisa membuat para wanita jatuh hati karena terpesona.
Suatu
hari beliau mendapat amanah mengisi pengajian di Bumi Kartini, Jepara. Dengan diantar
seorang sopir, Kiai Ali meluncur menuju lokasi pengajian. Traffic light menyala
merah, mobil yang beliau tumpangi pun berhenti. Di dalam mobil, kiai Ali tidak
mengenakan sorban dan kopiah sehingga terlihat tampan kebuleannya. Seorang
wanita muda nan seksi tiba-tiba menghampiri sang Kiai. Dia mengira Kiai Ali
adalah turis tajir yang membutuhkan teman kencan.
“Malam, Om,” wanita itu menyapa manja.
“Malam,”
jawab Kiai Ali.
“Boleh
ikut, Om?”
“Boleh,
boleh, silakan masuk.”
Dengan
lincah wanita muda itu membuka pintu belakang, lalu duduk di belakang Kiai. Traffic
light menyala hijau, mobil pun melaju lagi.
Tanpa
basa-basa dot kom, si Wanita langsung merayu Kiai Ali.
“Mau
ke mana, om? Aku temenin sampai pagi, ya?”
“Ini,
saya mau ngaji ke Jepara. Ndak apa-apa, silakan sampeyan ikut saja,” Kiai
Ali menjawab tenang sambil mengenakan
kembali sorban dan kopiahnya.
Sontak
si Wanita terkesiap. Mukanya memerah. Tingkahnya pun jadi serba salah. Tersadarlah dia, ternyata mangsa yang dia pilih salah.
“Oh,
jadi, Bapak ini kiai, ya?”
Kiai
Ali hanya melempar senyum dan mengangguk pelan.
“Aduh,
maaf, Kiai, saya benar-benar tidak tahu.”
Si
Wanita belingsatan, pucat ketakutan, seperti cacing kepanasan.
Kiai
Ali tidak murka atau emosi. Beliau justru menanggapinya dengan ramah.
“Tidak
apa-apa, Mbak. Sekali-kali sampeyan ikut pengajian kan tidak apa-apa. Malahan
bagus.”
“Tidak
usah, Kiai,” si Wanita buru-buru menolak. “Saya turun di sini saja.”
Kiai
Ali tetap bersikukuh. “Pokoknya sampeyan harus ikut. Tadi sampeyan
bilang mau ikut, ya harus ikut.”
Si
Wanita mulai kehabisan pasal. Dia pasrah saja, seperti buronan yang dicokok polisi.
“Tapi
saya kan tidak pakai jilbab dan pakaian yang pantas, Kiai. ”
“Gampang,
nanti aku pinjamkan ke jamaah.”
“Tapi
saya malu, Kiai.”
“Sampeyan
ini lucu. Jadi pelacur tidak malu, ke pengajian kok malah malu. Piye tho?”
“Saya
takut, Kiai.”
“Bilangnya
tadi malu, sekarang takut. Mana yang benar? Hehehe.”
Kiai
Ali terkekeh kecil sambil geleng kepala.
“Sudahlah,
santai saja. Yang penting ikut.”
Mobil
yang membawa Kiai Ali akhirnya sampai di lokasi. Jamaah telah penuh sesak
hingga membeludak. Kiai Ali bergegas turun dan menghampiri jamaah ibu-ibu.
“Maaf,
Bu, bisa pinjam jilbabnya. Ini lho, Bu Nyai lupa membawa jilbab.”
Ibu-ibu
tentu heran, bisa-bisanya Bu Nyai kok lupa berjilbab. Namun, mereka tidak
berani menyampaikan itu. Seorang ibu cepat-cepat masuk ke dalam sebuah rumah. Tak
lama kemudian dia kembali dengan membawa jilbab panjang yang indah. Kiai Ali memberikan
jilbab itu kepada si wanita, yang masih duduk di dalam mobil.
Setelah
rapi si wanita turun dari mobil. Ibu-ibu berebut mencium tangan si wanita. Ia pun
dijamu dan dilayani sebagaimana Bu Nyai. Ada haru bercampur malu di hati
pelacur itu.
Usai
pengajian, jamaah ibu-ibu kembali berebut mendekati “Bu Nyai” alias si pelacur itu.
Meminta “Bu Nyai” berdoa untuk mereka. Tentu “Bu Nyai” kaget karena sudah lama
dia tidak merapalkan doa-doa. Untung ada sedikit doa pendek yang masih dia
ingat lamat-lamat. Entah doa sebelum makan, sebelum tidur, atau …. entahlah. Dia
baca saja doa pendekt itu.
“Huffffttt,
lega!” Batinnya usai membaca doa.
Sebelum
pulang, jamaah ibu-ibu bergantian mencium tangan “Bu Nyai” dan mengantarnya ke mobil.
Mobil pun melaju kea rah timur menuju Lasem. Di situlah air mata “Bu Nyai” tumpah.
Dia menangisi dirinya. Kiai Ali membiarkannya menumpahkan air mata. Setelah itu
menasihati, “Apa yang sampeyan pikirkan dan rasakan ketika orang-orang
tadi menghormatimu, mengerumunimu, dan memuliakanmu? Bahkan, mereka rela antre untuk
mencium tanganmu?”
Air
mata pelacur itu kembali tumpah, menangisi dosa-dosanya yang telah lalu.
“Hari
ini sampeyan mendapat nasihat paling berharga. Maka, segeralah bertobat,
mohon ampun kepada Allah. Mumpung ajal belum tiba.”
“Terima
kasih atas nasihatnya, Kiai,” suara wanita itu beriring isak. “Hari ini saya bertobat.
Sekali lagi, terima kasih.”
Begitulah
sang pelacur seksi, ia telah tersesat di jalan yang benar! []
No comments:
Post a Comment