Hadits ke-9: Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan - Permasa

Hot

Wednesday, August 28, 2019

Hadits ke-9: Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .
[رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr (ad-Dausi al-Yamani) radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan hendaklah kalian melaksanakannya semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya bertanya (yang tidak berguna) dan menentang nabi-nabi mereka.’”
(HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)

Abu Hurairah
Nama aslinya adalah Abdu Syams (hambanya matahari). Setelah memeluk Islam, Rasulullah mengganti namanya menjadi Abdurrahman (hambanya Tuhan yang Maha Pemurah). Karena gemar bermain dengan seekor kucing dan memasukkannya ke dalam lengan bajunya, Rasulullah lalu memanggilnya “Abu Hirr” atau “Abu Hurairah”, yang berarti “bapaknya kucing kecil”.
Abu Hurairah menyatakan memeluk Islam di hadapan Rasulullah sekira tiga atau empat tahun sebelum Rasulullah wafat. Walaupun kebersamaannya dengan Rasulullah terbilang singkat, hadis-hadis yang diriwayatkannya dan dihafalnya justru melampaui sahabat-sahabat yang lain. Bahkan, ia tercatat sebagai periwayat hadis terbanyak (5374 hadis).
Setidaknya ada tiga alasan mengapa Abu Hurairah terbanyak meriwayatkan hadis. Pertama, ia sangat bersemangat mengejar ketertinggalan dengan cara terus-menerus mengikuti Rasulullah dan istiqamah di majelis beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terkait hal ini Abu Hurairah pernah berkata, “Sahabat-sahabatku Muhajirin sibuk berdagang di pasar, dan sahabat-sahabatku Anshar sibuk di tanah pertanian. Sementara aku adalah seorang miskin yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah, maka aku selalu hadir saat yang lain absen.”
Kedua, berkah doa Nabi. “Siapa yang membentangkan kainnya (sorbannya) dan mengambil perkataan dariku lalu menghimpunnya ke dalam dadanya, maka ia tidak akan pernah melupakan apa pun yang didengarnya,” sabda Nabi. Abu Hurairah melakukannya. Sejak itulah ingatan dan hafalannya menjadi sangat tajam. Tak ada satu pun hadis Nabi yang terlupakannya.
Ketiga, sadar akan kewajiban untuk menyampaikan semua hadis yang ia dapat dari Nabi. Kesadaran ini didorong oleh adanya firman Allah Ta’ala Q.S. al-Baqarah [2]: 159-160.

Sababul Wurud
            Sebab turunnya (sababul wurud) hadis ini berkaitan dengan perintah Rasulullah kepada para sahabat agar berhaji. Dalam khotbahnya beliau bersabda, “Wahai manusia, sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” Lalu seseorang bertanya kepada beliau, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau diam, sampai orang tadi mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali. Rasulullah pun berkata, “Seandainya aku menjawab iya, maka jadi wajib (setiap tahun pergi haji) dan kalian tentu tidak akan sanggup. Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian disebabkan banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian; dan jika aku melarang sesuatu kepada kalian maka tinggalkanlah.” (HR. Muslim, no. 1337)

Jauhi Semua Larangan
Ada larangan yang menunjukkan haram dan ada pula yang menunjukkan makruh. Larangan yang menunjukkan haram contohnya adalah berzina, minum khamr, mencuri, dan membuka aurat di hadapan orang lain. Dalam hal ini kita wajib menjauhi semua larangan tersebut.
Sementara larangan yang menunjukkan makruh, misalnya, mengonsumsi makanan yang mengakibatkan aroma tidak sedap bagi orang yang hendak menunaikan shalat berjamaah. Dalam hal ini kita disunnahkan tidak melakukannya.
Segala hal yang haram memang harus kita jauhi. Akan tetapi, terkadang kita dihadapkan pada kondisi yang memaksa untuk melakukan perkara haram tersebut. Jika tidak melakukannya, nyawa kita bisa terancam. Oleh karena itulah kita dibolehkan melakukan perkara haram tadi sekadar untuk menyelamatkan nyawa.
Dalam Alquran disebutkan, yang artinya, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 173)        
Berdasarkan ayat inilah kemudian muncul kaidah fiqih:
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya dilarang/haram.”

الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Keadaan darurat itu diukur sesuai perlunya saja.”

Mengacu pada ayat dan kaidah tersebut, seseorang yang terpaksa membuka aurat di depan dokter, misalnya, tidak boleh membuka aurat selain tempat yang sakit atau melebihi bagian yang diperlukan untuk penanganan medis.

Laksanakan Perintah Sesuai Kemampuan
Ada dua jenis perintah,yaitu wajib dan sunnah. Perintah wajib, misalnya, shalat lima waktu, zakat, puasa Ramadhan, haji, dan berbakti kepada kedua orang tua. Siapa pun yang meninggalkan perintah wajib ini maka berdosa. Adapun perintah sunnah, misalnya, shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba’diyah), puasa Senin dan Kamis, makan menggunakan tangan kanan, dan sebagainya. Apabila perintah sunnah ini ditinggalkan maka tidak mengakibatkan ia berdosa.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah… berilah mereka kemudahan dan jangan mempersulit mereka.” (HR. Bukhari)
Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Q.S. al-Baqarah [2]: 286)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (Q.S. at-Taghabun [64]: 16)
Dalam hal melaksanakan perintah, Rasulullah memerintahkan kita agar melaksanakan sesuai dengan kemampuan kita ( مَا اسْتَطَعْتُمْ ). Akan tetapi, hal ini tidak berlaku untuk hal-hal yang bersifat larangan. Artinya, terhadap semua larangan (yang haram), kita harus menjauhinya secara total. Bukan sesuai kemampuan.

Sebab-Sebab Kehancuran Umat
Di antara hal yang menyebabkan kehancuran umat, sebagaimana disebutkan Rasulullah dalam hadis di atas, adalah terlalu banyak bertanya (berlebihan) dan menentang ajaran para nabi.
Mengapa Rasulullah melarang kita terlalu banyak/berlebihan dalam bertanya? Karena terlalu banyak bertanya bisa memberatkan dan mempersulit diri sendiri. Bahkan, bisa mendatangkan madharat.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S. al-Maidah [5]: 101)
Tidak berarti bahwa Allah dan Rasulullah melarang kita bertanya. Pasalnya, ada pula perintah agar kita bertanya. Misalnya, firman Allah Ta’ala, yang artinya “…Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. an-Nahl [16]: 43)
Dengan demikian, hukum bertanya dapat dibagi menjadi dua.
1.      Pertanyaan yang justru diperintahkan oleh agama
Misalnya, bertanya tentang tata cara berwudhu dan shalat bagi seseorang yang sudah baligh, bertanya tentang hukum pernikahan dan segala hal yang berkaitan dengannya apabila hendak menikah, dan sebagainya.
Dalam hal ini, kunci sukses Ibnu Abbas dalam hal mencari ilmu patut kita tiru. Ketika ditanya rahasianya, Ibnu Abbas menjawab, “Bi lisanin sa’ul wa qalbin ‘aqul; disebabkan lisan yang suka bertanya dan hati yang berpikir.”
2.      Pertanyaan yang dilarang oleh agama
Di antara bertanya yang dilarang adalah bertujuan untuk berdebat, mengolok-olok, merendahkan, mempermainkan, atau mempermalukan orang lain. Pertanyaan yang bertujuan demikian tentu haram dilakukan. Adapun jika tidak bertujuan demikian, namun akan mengakibatkan diri terbebani dan kepayahan, maka makruh ditanyakan.

Bertanya yang baik adalah bertanya dengan mengedepankan etika serta berniat menambah ilmu dan untuk diamalkan. Adapun jalan selamat yang ditempuh oleh para sahabat dan salafush shalih (para pendahulu yang saleh) adalah dengan sami’na wa atha’na, mendengar lalu menaatinya.[] 

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot