Assalamu’alaikum Warahmatullah.
- Suami istri bersentuhan kulit membatalkan wudhu atau tidak?
- Kalau membatalkan wudhu, boleh atau tidak suami memandikan istrinya yang meninggal; atau sebaliknya istri memandikan suaminya yang meninggal?
- Kalau bersentuhan suami istri membatalkan wudhu, kenapa kalau akan berhubungan suami istri disunnahkan berwudhu? Toh nanti batal wudhunya karena bersentuhan.
(Bapak S. Tohari: 0813-9212-xxxx)
~*~
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Semua pertanyaan di atas telah kami
jawab singkat melalui WhatsApp (WA). Namun, akan semakin bermanfaat apabila jawaban
tersebut kami uraikan agak lebih luas lagi dalam laman ini.
Jawaban no. 1
Para ulama fikih berbeda pendapat
mengenai persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, apakah membatalkan
wudhu atau tidak. Akar perbedaan tersebut adalah ketidaksepahaman para ulama
lintas madzhab dalam menarik kesimpulan hukum dari ayat berikut:
أَوْ لاَمَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَاءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا
“...atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)...”
(Q.S. al-Maidah [5]: 6)
Berdasarkan
istimbath (cara menarik kesimpulan hukum dari sumbernya) pada ulama
lintas madzhab, hukum bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan
(termasuk juga suami-istri) dalam kaitannya dengan wudhu adalah sebagai
berikut:
1. Membatalkan wudhu secara mutlak (madzhab Syafi’i)
a.
Persentuhan kulit
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
b.
Laki-laki atau
perempuan tersebut sudah mencapai usia yang menimbulkan syahwat. Dalam hal ini,
batasan usianya dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat
setempat). Namun, ada pula yang berpendapat batasan adalah usia 7 tahun.
c.
Kulit langsung
bertemu dengan kulit (tidak ada penghalang apa pun). Menyentuh rambut, gigi,
dan kuku tidak membatalkan wudhu, karena ketiganya bukan kulit.
d.
Baik bersentuhannya disengaja
maupun tidak.
e.
Baik saat bersentuhan
ada syahwat maupun tidak.
f.
لاَمَسْتُمُ dalam ayat di atas dimaknai
dengan “menyentuh”.
è Inilah pendapat yang
banyak diikuti oleh mayoritas ulama dan umat Islam di Indonesia.
2. Tidak batal secara mutlak (madzhab Hanafi)
a.
Bersentuhan kulit dengan siapa pun, walaupun dengan syahwat,
tidak membatalkan wudhu.
b.
لاَمَسْتُمُ dalam ayat di atas dimaknai
oleh ulama Hanafiah sebagai “jima’ atau hubungan seksual”.
3. Membatalkan wudhu jika disertai syahwat (madzhab Hambali
dan madzhab Maliki)
a.
Madzhab Hambali: sama seperti pandangan madzhab Syafi’i, hanya saja disyaratkan
adanya syahwat.
b.
Madzhab Maliki: siapa
pun yang disentuh jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu. Baik yang
disentuh sudah baligh atau belum, mahram atau bukan, lawan jenis atau sesama
jenis, maupun langsung pada kulit atau tidak; semua membatalkan wudhu jika
dilakukan dengan syahwat.
Selain berpijak
pada ayat di atas, ulama yang berpendapat tidak membatalkan wudhu juga mengacu
pada hadits bahwa Rasulullah pernah mencium Aisyah lalu menunaikan shalat tanpa
berwudhu lagi. Terhadap hadits ini, para ulama Syafi’iyah menilai bahwa hal
tersebut adalah khushushiyah (kekhususan) bagi Nabi.
Mengapa persentuhan
kulit antara suami dan istri membatalkan wudhu? Bukankah mereka adalah mahram
karena sudah menjadi pasangan yang sah dan halal?
Nah, inilah yang
belum banyak dipahami oleh masyarakat. Perlu kita pahami benar-benar bahwa istilah
mahram dalam hal ini maksudnya adalah ORANG YANG HARAM DINIKAHI. Apakah istri
haram kita nikahi? Tidak, kan? Justru dia termasuk orang yang halal kita
nikahi. Berkat pernikahan yang sah, kita boleh mengajaknya berduaan dan berhubungan
badan. Karena dia halal kita nikahi, berarti dia bukan mahram. Konsekuensinya, bersentuhan
kulit dengannya mengakibatkan batalnya wudhu.
Jawaban no. 2
Istri boleh
memandikan jasad suaminya yang telah meninggal. Begitu pula sebaliknya, suami
boleh memandikan jasad istrinya yang telah meninggal.
Jika demikian, apakah
wudhu atau kesucian jenazah menjadi batal karena terjadi persentuhan kulit di
antara keduanya? Hanya orang yang menyentuh atau memandikan yang batal
wudhunya. Sementara kesucian/wudhunya jenazah tidak menjadi batal. Demikain
pandangan para ulama Syafi’iyah.
هامش إعانة الطالبين
الجزء الأول
ورابعها (تلاقى بشرتى
ذكر وأنثى) ولو بلا شهوة وإن كان أحدهما مكرها أو ميتا لكن لا ينقض وضوء الميت
Jawaban no. 3
Sebelumnya,
perlu kita kenang kembali kemuliaan Bilal bin Rabah sampai-sampai suara
terompahnya terdengar oleh Nabi di surga. Kemuliaan itu tiada lain didapat
Bilal dari melanggengkang wudhu. Dari sinilah kita dianjurkan senantiasa
menjaga dan melanggengkan wudhu.
Allah Ta’ala
juga senang kepada orang-orang yang senantiasa dalam keadaan suci, sebagaimana
firman-Nya:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ
وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
“ Sesungguhnya
Allah swt., mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang
mensucikan diri.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 222)
Jika tidak bisa
melanggengkan wudhu, setidaknya kita bisa berwudhu dalam perkara-perkara lain
yang disunnahkan oleh Nabi. Di antaranya adalah sebelum tidur, ketika hendak mengulang
kembali hubungan suami-istri (babak kedua dan seterusnya), dan ketika seorang junub
hendak pergi tidur.
Rasulullah
bersabda,
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ
فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ
“Apabila engkau
hendak tidur, berwudhulah sebagaimana wudhu ketika hendak shalat.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ
ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Apabila seseorang
di antara kalian menggauli istrinya kemudian ingin mengulanginya lagi, hendaklah
dia berwudhu terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat
lain terdapat tambahan:
فانه انشط للعود
“Bahwasanya
wudhu itu dapat menambah semangat untuk mengulangi (jima’).”
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ
يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ
“Apabila beliau (Rasulullah)
hendak tidur sementara beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu sebagaimana
wudhu untuk shalat.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa'i, dll)
Sementara itu, sebelum
berhubungan badan dengan istri, dianjurkan menunaikan shalat dua rakaat bersama
berjamaah (suami-istri). Anjuran ini berdasarkan ajaran para sahabat (di
antaranya Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah) kepada Abu Sa’id, yang baru
saja menikah.
إذا دخل عَلَيْكَ أَهْلُكَ
فَصَلِّ عَلَيْكَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلِ اللَّهَ تَعَالَى مِنْ خَيْرِ مَا دَخَلَ
عَلَيْكَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنْ شَرِّهِ، ثُمَّ شَأْنَكَ وَشَأْنَ أَهْلِكَ
‘Apabila istrimu telah menemuimu maka shalatlah dua rakaat, kemudian
mohonlah kepada Allah kebaikan istrimu yang akan dipertemukan denganmu, dan
mohonlah perlindungan kepada-Nya dari kejahatannya. Selanjutnya terserah kamu
dan istrimu.”
Anjuran ini kerap dikaitkan dengan hubungan suami-istri pada malam pertama.
Namun demikian, relevan pula dikaitkan dengan hubungan-hubungan pada hari-hari
berikutnya. Pada saat ini, sebelum melakukan hubungan, suami-istri tetap dalam keadaan
suci.
Ada hikmah dan manfaat yang sangat besar dari setiap perintah Allah dan
Rasul-Nya. Sebagian bisa kita gali dengan mudah, sebagian lainnya tetap menjadi
rahasia Allah dan Rasul-Nya. Yang jelas, saat dalam keadaan suci, hati kita
menjadi lebih jernih dan mudah meraih bimbingan dari Allah Ta’ala. Setan pun enggan
mendekat kepada orang-orang yang suci.
Kesimpulan
- Persentuhan kulit antara suami dan istri membatalkan wudhu. Demikian pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, sebagaimana diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
- Suami boleh memandikan jasad istrinya yang meninggal. Begitu pula sebaliknya. Adapun berkaitan dengan batalnya wudhu, yang batal adalah wudhunya orang yang memandikan. Sementara si mayit tidak batal wudhunya.
- Allah sangat senang kepada hamba-Nya yang senantiasa dalam keadaan suci. Lebih khusus lagi, Kanjeng Nabi dan para sahabat juga mengajarkannya, termasuk ketika hendak bersanggama, ketika hendak mengulangi lagi sanggama, dan ketika hendak tidur. []
No comments:
Post a Comment